Tutorial Blog

Senin, 06 Agustus 2012

Kapan UKHTI Siap Berjilbab?


Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Beberapa waktu belakangan ini, orang-orang di sekeliling saya sering kali melontarkan ucapan-ucapan seperti ini:
“Neng, kapan mau berjilbab?”
“Kalau udah tahan dengan panas…berjilbab yah darling!”
“Rambut bagus kamu ini akan jadi ‘kayu bakar’ di neraka loh. Cepat2 ditutup yah.”
                                                                                       Foto: Doc Google
Reaksi pertama saya menghadapinya : Tersenyum!
Saya tersenyum bahagia karena saya dikelilingi orang-orang yang dengan tulus begitu perduli pada saya.
Jawaban saya untuk mereka : Insyaallah secepatnya, kalau sudah siap!
Siap dalam takaran saya adalah ketika saya akan cukup mampu menahan diri untuk tidak mengeluh ‘saya kepanasan’, dan saya mampu mengontrol diri untuk tidak lagi berpakaian dengan style yang saya sukai selama ini.
Jawaban yang paling saya hindari ketika semua orang yang menyayangi saya mempertanyakan kesiapan saya berjilbab adalah:
  • JILBAB-IN HATI DULU, BARU BERJILBAB (PAKAIAN)
Kata-kata ‘Jilbab-in Hati dulu’ adalah bisikan setan yang paling halus bagi setiap perempuan agar menggunakannya sebagai ‘pembelaan diri’ ketika mereka belum sanggup mematuhi perintah Allah mengenai batasan aurat yang harus ditutup.
Maksud dan pengertian mereka yang mengatakan ‘Jilbab-in Hati dulu’ sebelum benar-benar berjilbab (pakaian) adalah memperbaiki kualitas sikap ke arah yang lebih positif atau kata lainnya mempercantik hati.
Dan saya sebisa mungkin sangat menghindari itu.
Sejauh yang saya pahami, BERJILBAB (baca: menutup aurat selayaknya yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur : 31 dan Al-Ahzab : 59) adalah WAJIB hukumnya bagi setiap wanita muslim atau mereka yang mengaku dirinya meyakini Islam sebagai dasar keimanan. Tidak ada kaitannya dengan hati atau sikap seseorang dalam menjalani kesehariannya. Jilbab tidak bisa dijadikan ukuran tingkat keimanan seseorang. Pun juga tidak bisa dijadikan sebagai patokan bahwa mereka yang mengenakannya harus lebih baik dari mereka yang tidak. Memang pada akhirnya setiap perempuan yang sudah mampu menutup auratnya secara penuh akan menjadikan jilbab sebagai rambu-rambu bagi dirinya sendiri untuk tidak bertindak melenceng terlalu jauh dari norma sosial terlebih norma agama. Namun bukan berarti mereka yang tidak berjilbab masih dapat dengan leluasa berlaku sebebas-bebasnya.
Ketika kita katakan ingin ‘Jilbab-in Hati dulu’ atau memperbaiki diri, tetapi setiap langkah kita tidak menuju kesana, Allah akan mencatatnya sebagai janji/hutang. Mereka yang mengingkari sekecil apapun janjinya akan dimasukkan pada golongan orang-orang munafik. Naudzubillahi mindzalik.
Bagi saya lebih baik saya katakan secara fair apa yang menjadi alasan ketidaksiapan saya berjilbab. Saya belum siap berjilbab, karena saya belum cukup mampu menahan rasa panas yang ditimbulkan ketika seharian penuh menggunakan pakaian tertutup. Beberapa kali ketika saya berkesempatan berjilbab rapi seharian, saya akan merasakan pusing yang amat sangat, yang saya yakini karena kepala saya tidak mendapatkan asupan oksigen yang cukup. Itulah salah satu kelemahan fisik terbesar saya.
Selain kendala fisik, satu hal yang masih belum dapat saya kontrol sepenuhnya adalah keinginan saya yang masih cukup besar untuk berpakaian sesuai style yang saya sukai. Saya masih sangat suka mengenakan rok sebatas lutut yang membuat saya merasa bebas bergerak lebih dinamis. Saya masih menyenangi model pakaian yang pas menempel di tubuh saya yang tentu saja akan saya tinggalkan saat saya memutuskan untuk berhijab nanti.
Hal ini pun tentu tidak akan saya biarkan larut terus membentengi ketidaksiapan saya. Secara perlahan dan pasti, saya sudah harus mulai mempersiapkan diri dengan tindakan konkrit.
  • BELUM DAPAT HIDAYAH
Selain kata-kata ‘Jilbab-in Hati dulu’, satu lagi yang saya hindari adalah kata-kata ‘Belum dapat Hidayah.’
Sejujurnya saya sudah sangat meyakini tanpa ragu bahwa berjilbab adalah WAJIB bagi saya sebagai wanita muslim. Dan haram hukumnya ketika saya melanggarnya. Hukum haram tentu akan menghadirkan konsekuensi bagi para pelakunya, yaitu dosa. Dan saya menyimpannya rapat dalam hati saya! Dengan harapan saya akan terus diingatkan tentang hal tersebut.
Keyakinan saya yang kuat terhadap hal itu, sudah merupakan hidayah tersendiri bagi saya. Hati saya tidak tertutup sepenuhnya akan perintah Allah, dan masih begitu besar rasa takut saya untuk membalas setiap rahmat Allah dengan cara yang tidak terpuji.
Semoga Allah menguatkan niat baik saya, sehingga (insyaallah) saya dapat secepatnya benar-benar memenuhi kewajiban saya menutup aurat secara sempurna sebagaimana layaknya wanita muslim yang diperintahkan Allah. Aamiin.
Read More..